Selasa, 19 Desember 2017

Teori vs Eksperimen

Fisika merupakan upaya menemukan pola-pola keteraturan alam dan membingkainya menjadi bagan berpikir yang runtut, yakni berupa kaitan logis antara konsep-konsep tertentu. Bagan bepikir tentang pola-pola keteraturan alamiah itu disebut t e o r i. Jadi, fisika adalah upaya membangun teori tentang gejala-gejala alamiah. Bagan berpikir itu secara matematis disajikan sebagai kaitan-kaitan matematis yang menghubungkan struktur-struktur matematis yang mewakili konsepkonsep tertentu, semisal besaran, parameter, dll. Oleh karena itu, konsep-konsep pun bermunculan sesuai kebutuhan. Jadi, ilmu fisika berusaha menemukan pola-pola keteraturan tersebut dan membingkainya dalam suatu rumusan matematis. Yang diusahakan adalah mendapatkan gambaran matematis maksimal, yakni persamaan matematis yang paling tepat dan yang memiliki jangkauan paling luas dalam menjelaskan keteraturan alam. Walaupun tidak ada kesepakatan secara formal namun telah berkembang keyakinan secara luas bahwa pola-pola keteraturan alam itu paling baik apabila dimodelkan atau disajikan dalam bentuk pola-pola matematis yang berupa persamaan ataupun grafik.

Untuk apa sebuah teori disusun? Holton dan Brush menggambarkannya dengan keberadaan sebuah gunung atau pulau es yang terapung di permukaan air laut. Bagian es yang berada di bawah permukaan air laut (oleh karena itu tidak kelihatan) jauh lebih besar jika dibandingkan dengan yang tampak di atas permukaan air laut. Tujuan sebuah teori adalah menjelaskan seluk-beluk, sifat-sifat, dan perilaku gunung es itu secara keseluruhan termasuk bagian pulau es yang tersembunyi di bawah permukaan air laut itu dengan berbekal pengetahuan tentang seluk-beluk, sifat-sifat, dan perilaku bagian yang tampak di permukaan air laut. Secara rinci sebuah teori diharapkan mampu untuk (i) menghubungkan berbagai fakta yang terpisah dalam suatu bagan berpikir yang logis dan mudah ditangkap, (ii) memberikan gambaran tentang kaitan-kaitan baru, yakni mampu menjelaskan kaitan antara fakta-fakta lama dan fakta-fakta baru, (iii) memberikan prakiraan (prediksi) gejala-gejala alamiah baru, dan memberikan penjelasan bagi gejala-gejala alamiah yang telah teramati, (iv) menuntun dalam penyelesaian masalah-masalah praktis.

Untuk mewujudkan obsesi tersebut, sebagian fisikawan yang masyhur disebut fisikawan teoretis berusaha menyusun model-model hukum alam dengan memanfaatkan kaidah-kaidah matematis. Bagan berpikir yang runtut itu akan dimodelkan dengan objek-objek matematis dan kaitan antara objek-objek itu. Penyusunan model-model ini tidak boleh sembarangan. Penyusunan ini haruslah didasarkan pada data-data hasil eksperimen (percobaan) atau pengamatan yang telah dihasilkan oleh sebagian fisikawan yang dikenal sebagai fisikawan eksperimental. 

Model hukum alam yang diusulkan, tentu saja, tidak mungkin identik dengan hukum atau pola-pola keteraturan alam yang sesungguhnya (yakni yang dimodelkannya), melainkan hanya sekedar pendekatan semata. Oleh karena itu, diperlukan ukuran apakah model-model yang diusulkan diterima atau ditolak. Ukuran tersebut haruslah terkait dengan kesesuaian model-model tersebut dengan perilaku alam yang yang diwakilinya. Model yang paling sesuai dengan perilaku alam merupakan model yang paling diterima. Selain dituntut untuk mampu menjelaskan hasil-hasil eksperimen yang telah dilakukan, model yang diusulkan dituntut pula mampu meramalkan hasil-hasil eksperimen yang akan dilakukan. Jadi, semakin banyak hasil eksperimen yang dapat dijelaskan dan diramalkan secara tepat oleh suatu model, maka model tersebut semakin diterima. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa eksperimen merupakan ‘hakim’ dalam fisika (sains pada umumnya), yakni menentukan apakah suatu model matematis diterima ataukah ditolak. Akan tetapi, walaupun suatu model telah mampu memainkan peran tersebut secara memuaskan, ia terpaksa harus pula ditinggalkan atau paling tidak diperbaiki apabila terdapat paling sedikit sebuah eksperimen yang tidak mampu dijelaskan atau diramalkan olehnya. 

Jadi, tidak ada model hukum alam yang diterima secara langgeng. Albert Einstein, mengatakan, “No number of experiments can prove me right; a single experiment can prove me wrong.“ Jadi, seribu macam eksperimen yang mendukung kebenaran suatu teori atau model belumlah cukup untuk menyatakan bahwa teori itu benar, tetapi sebuah eksperimen saja (sekali lagi, hanya sebuah eksperimen saja) telah mencukupi untuk menggugurkan suatu teori atau model manakala hasil-hasil eksperimen tersebut sama sekali tidak mampu dijelaskan oleh suatu teori atau model. Sebuah teori yang disusun secara induktif (teori sains) tidak akan pernah dapat dibuktikan kebenarannya. Justru sebaliknya, yang mungkin dapat dibuktikan dari suatu teori sains adalah kesalahannya, yakni ketika salah satu prediksinya tidak sesuai dengan hasil eksperimen atau pengamatan. Hal ini mudah dipahami mengingat tidak semua kasus yang mungkin terjadi dapat diamati.

Jadi, model-model yang masih lolos dari penolakan akan terus bertahan, sedangkan yang telah gagal perlu diperbaiki atau ditinggalkan sama sekali. Model-model yang masih lolos uji perlu digabungkan sehingga didapatkan model-model yang memiliki jangkauan (domain) yang lebih luas. Selanjutnya, model-model hasil penggabungan kemudian harus diuji lagi dengan eksperimen-eksperimen. Sekali lagi, yang masih lolos akan bertahan, yang gagal diperbaiki atau ditinggalkan. Proses semacam ini berlangsung terus-menerus. Lalu, kapan akan berakhir? Jawabnya : tiada akan berakhir. Kehebatan sebuah teori atau model diukur dari kemampuannya bertahan dari upaya penolakan melalui eksperimen-eksperimen. Semakin banyak eksperimen yang gagal membuktikan kesalahan sebuah teori, semakin meyakinkan teori itu. Akan tetapi, tetap saja, bahwa teori itu tidak akan pernah terbukti kebenarannya.


I Gusti Ngurah Yudi Handayana
Sumber: Rosyid, M. F., et. al. 2014. Fisika Dasar Jilid 1

0 komentar:

Posting Komentar