Rabu, 09 Januari 2019

Hitamnya Ruang Angkasa

Di bumi, langit terang pada siang hari karena molekul-mlekul udara memantulkan sinar matahari seperti milyaran cermin mungil (baca : Langit Biru). Namun, di bulan tidak ada atmosfir, jadi langit gelap dan bintang-bintang tampak bahkan pada siang hari. Begitu pula di ruang angkasa itu sendiri yang sangat kosong, dengan sedikit molekul untuk memantulkan kembali cahaya pada kita. Jadi bahkan di dekat Matahari yang menyala-nyala ruang angkasa akan tetap berwarna hitam. 



Meski demikian, kehitaman ruang  angkasa melibatkan teka-teki yang rumit, yang telah diperdebatkan para ilmuwan selama beratus-ratus tahun. Mengapa tidak semua bintang di alam semesta kita bersama-sama menghasilkan cahaya yang menyilaukan? Mengapa langit tetap gelap pada malam hari? Namun, hati-hati bahwa kasus ini berbeda dengan langit bumi berwarna biru. Langit bisa saja berwarna putih cemerlang atau warna lain (sepanjang ada cahaya dari matahari). Namun ini kasus langit berwarna gelap (tidak terang).

Beberapa ilmuwan percaya bahwa alam semesta tidak terbatas, bahwa ruang angkasa terus membentang ke segala arah selamanya, dan bahwa di ruang angkasa tak berujung itu terdapat jumlah bintang yang tidak terbatas.

Jika ruang angkasa dipenuhi dengan banyak bintang (sumber cahaya), seharusnya kemanapun kita menoleh akan selalu terdapat bintang-bintang. Dipenuhi bintang-bintang jauh, seharusnya langit malam membutakan kita dengan cahayanya yang menyilaukan. Tetapi kenyataannya tidak. Pemikiran seperti ini diawali oleh Thomas Diggers pada tahun 1500an yang dilanjutkan oleh astronom abad 19 Wilhelm Olbers yang akhirnya fenomena ini disebut sebagai Paradoks Olbers.

Olbers mengusulkan beberapa pemecahn, tetapi akhirnya memutuskan bahwa jawabannya adalah debu. Mungkin kita tidak dapat melihat cahaya dari bintang-bintang yang sangat jauh, karena debu di angkasa menyerapnya. Itu akan berarti bahwa jumlah bintang yang tidak terbatas tertutupi oleh debu. 

Tetapi setelah kematian Olbers, para ilmuwan menghitung bahwa sinar-sinar bintang dari semua matahari itu seharusnya cukup memanaskan setiap debu sehingga juga berpijar. Jadi langit malam seharusnya diterangi oleh debu yang bersinar. Kembali ke paradoks.

Jadi, para ilmuwan mencoba teori-teori lain. Cahaya yang jauh lebih redup daripada cahaya yang dekat. Jadi bintang-bintang yang sangat jauh memang tidak bisa terlihat. Namun, jika jumlah bintang tak terbatas, cahaya akan terakumulasi dan langit tetap saja seharusnya terang. 

Namun yang jelas, kegelapan menguasai malam. Sepanjang hidup kita melihat langit gelap di malam hari. Sepanjang perjalanan wahana keluar atmosfer bumi akan berhadapan dengan gelapnya ruang angkasa.

Akhirnya, kesalahan ditemukan pada cara awal berpikir kita. Bahwa tidak cukup banyak bintang untuk menutupi angkasa dengan cahaya. Langit malam tidak terang karena bintang-bintang dan alam semesta tidak membentang tiada akhir. Alam semesta sebagian besar terdiri atas ruang kosong. 

Dengan teleskop yang paling kuat, kini kita hampir bisa melihat dimana bintang-bintang akan berakhir. Cahaya dari bintang-bintang butuh waktu jutaan tahun untuk menempuh perjalanan ke tempat kita. Jadi ketika kita melihat ke angkasa, kita melihat ke waktu lampau. Teleskop terbaik memungkinkan kita melihat cahaya yang memulai perjalanannya ke arah kita sekitar 10 milyar tahun yang lalu.

Alam semesta baru berumur 15 milyar tahun. Semakin baik teleskop kita nantinya, semakin jauh ke masa lalu kita dapat melihat. Menelusuri kehampaan sebelum kelahiran bintang-bintang. Melalui ruang kosong diantara bintang-bintang, kita dapat melihat kembali ke awal mula alam semesta.

0 komentar:

Posting Komentar