Jumat, 03 Agustus 2018

Ketiadaan Batas Alam Semesta

Ada masanya dalam kehidupan kita ketika kita pertama kalinya menyadari bahwa kita bukanlah pusat  dari alam semesta, bahwa kita termasuk dalam sesuatu yang jauh lebih besar dari diri kita sendiri. Itu bagian dari beranjak dewasa. Dan sebagaimana itu terjadi pada tiap diri kita, itu pun terjadi pada masyarakat kita.

Pada abad ke-16, sebelum teleskop ditemukan, ketika alam semesta hanya sebatas apa yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Jelas bahwa Bumi tidak bergerak, dan segala sesuatu yang ada di langit, Matahari, Bulan bintang-bintang dan planet-planet berputar mengelilingi kita. Namun kemudian seorang astronom dan pendeta berkebangsaan Polandia, Copernicus membuat usulan radikal. Bumi bukanlah pusat semesta. Ia hanyalah salah satu planet, dan, seperti mereka pun, Ia berputar mengelilingi Matahari.

Meskipun pada masanya usulan ini dianggap bertentangan dengan penguasa, namun ini merupakan titik kebesaran pemikiran manusia dalam menyadari lingkungan sekitarnya. Kemampuan untuk lepas dari belenggu perasaan dan panca indera. Bagaimana masyarakat pada zaman itu mampu keluar melihat alam semesta (keluar dari bumi) dengan keterbatasan teknologi? Bahkan zaman itu, peta bumi pun belum sempurna. Mereka keluar dari belenggu pemikiran itu dengan logika seperti berikut.

Bayangkan kita berdiri pada tepian alam semesta kemudian menembakkan sebuah anak panah ke luar. Jika anak panah terus melaju maka jelaslah, alam semesta jauh dari apa yang dikira sebagai tepinya. Tapi jika anak panahnya tidak terus melaju katakanlah menabrak tembok maka tembok itu haruslah berada  jauh dari apa yang kamu pikir sebagai batas alam semesta. Sekarang jika kamu berdiri pada 'dinding' itu dan menembakkan anak panah lainnya  hanya ada dua kemungkinan yang sama. Ia terbang selamanya atau ia menabrak beberapa tembok, dimana kamu bisa berdiri diatasnya dan menembakkan anak panah lainnya. 

Dengan kata lain, alam semesta tak berbatas. Bahkan dengan cara sederhana pun, berpijak keyakinan pada Sang Pencipta, belenggu pemikiran dapat dienyahkan. Tuhan, sang pencipta, yang kita sembah kita yakini tidak memiliki batasan. Jadi bagaimana mungkin, ciptaan-Nya begitu kecil? Tuhan kita yang tak berbatas telah menciptakan semesta yang tak terbatas dengan jumlah dunia yang tak terhingga.

Jagat raya pasti lah tak terbatas. Copernicus ternyata benar mengatakan bahwa dunia kita bukanlah pusat dari alam semesta. Bumi bergerak mengelilingi Matahari. Ia hanyalah planet, sama seperti lainnya. Tapi Copernicus sebatas fajar.  Bintang-bintang adalah matahari berapi lainnya dibuat dari substansi yang sama seperti Bumi dan mereka mungkin memiliki bumi-bumi berair mereka sendiri dengan tanaman dan hewan yang tak kalah mulia daripada kita sendiri.

1 komentar: